Trinil dan Benteng Pendhem kental dengan ikatan histori. Aliran Bengawan Solo yang bersinggungan langsung dengan kedua kawasan bersejarah itu merupakan akses transportasi air saat penggalian fosil pithecanthropus erectus oleh Eugene Dubois.
MENYUSURI aliran Bengawan Solo menggunakan perahu karet memberi tantangan tersendiri. Di saat melintas di arus yang deras, tersuguh layaknya olahraga arum jeram. Perahu bisa terpontang-panting mengikuti aliran air. Berbeda dengan arus yang landai. Kecepatan perahu rata-rata bisa 60 kilometer perjam tanpa oleng.
Dan itu dibuktikan jajaran muspida dan wartawan koran ini saat mengikuti napak tilas dari Trinil menuju Benteng Pendhem kemarin (28/11). Meski di beberapa titik bisa membuat jantung berdebar-debar, tapi perjalanan yang menempuh rute 20 kilometer itu serasa mengasyikan. Ini bisa menjadi awal dalam pengembangan potensi wisata air di Kabupaten Ngawi,terang Bupati Budi Sulistyono.
Tepat pukul 09.15 rombongan mulai melakukan persiapan di pinggir bantaran bengawan yang cuma berjarak 100 meter dari Museum Trinil. Sebelumnya dilakukan pembekalan sebentar oleh AKP Sunarto yang tergabung dalam tim Search and Rescue (SAR) Brimob Madiun. Perahu boat yang digunakan sebanyak empat unit. Perahu satu dan dua khusus ditumpangi jajaran muspida. Perahu tiga crew media dan kehumasan. Sedangkan perahu empat khusus untuk tim SAR.
Keempat perahu melaju beriring-iringan tidak sejajar. Hal itu untuk menghindari gelombang air masing-masing perahu. Maklum, bila menerjang gelombang air itu, perahu bisa miring. Itu masih tantangan awal. Yang sedikit membuat jantung dag dig dug saat melintas di aliran deras dengan kedalam cuma setengah hingga 1 meter. Baling-baling perahu bisa menabrak batuan dasar. Bila sudah seperti itu, mesin harus diangkat dan menggunakan kayuh untuk menggarahkan laju perahu. Malah tak jarang tim SAR harus terjun ke bawah sebagai antisipasi perahu nyangkut di bebatuan. Tercatat, sepanjang jalur ada tiga titik yang dianggap bahaya dan enam lokasi status waspada.
Tak hanya merasakan getaran perahu selama perjalanan. Pesona alam unik pun kerap dijumpai. Salah satunya batuan padas yang seolah terpahat secara beraturan. Padahal itu disebabkan gerusan air yang terus menerus. Begitu pula pola kehidupan masyarakat pinggir bengawan yang masih tergantung dengan aliran terpanjang di Pulau Jawa tersebut. Seperti untuk mandi, mencuci dan buang hajat. Meski cukup keruh, warga seolah tak mempedulikannya.
Selama satu setengah jam, iring-iringan mulai bersandar di area Benteng Pendhem. Waktu tempuh terbilang lamban. Kebetulan volume air menurun hari ini (kemarin, Red). Itu yang membuat perahu harus berjalan pelan dan hati-hati, ungkap Bupati Budi Sulistyono usai mengarungi perjalanan.
Kata dia, menyusuri aliran bengawan Solo dari Museum Trinil-Benteng Pendhem merupakan potensi wisata yang masih terpendam. Bila itu nantinya bisa digarap maksimal, tentu saja akan memberi warna tersendiri bagi pariwisata Kota Kripik. Sebagai langkah awal, pemkab akan menggelontarkan tiga perahu boat. Kami yakin, inilah wisata (menyusuri bengawan, Red) menjanjikan untuk Ngawi, ujarnya.
Senada juga dilontarkan Letkol Arm Sugeng Riyadi Komandan Yon Armed 12 Ngawi. Sebelum fosil Trinil disimpan di museum seperti saat ini, Benteng Pendhem-lah yang dulu digunakan untuk penyimpanan. Benteng peninggalan jaman Belanda itu dulu memang digunakan multifungsi. Disamping sebagai zona pertahanan juga dimanfaatkan untuk persinggahan para ilmuwan Belanda. Salah satunya Eugene Dubois penemu manusia purba Trinil pithecanthropus erectus. Nilai histori yang cukup tinggi itulah menjadi alasan kami Benteng Van Den Bosh atau masyarakat lebih mengenal Benteng Pendhem harus dijadikan objek wisata unggulan. Sejak tiga bulan lalu, Benteng Pendhem dibuka untuk umum. Mayarakat bisa melihat bangunan dari jarak dekat,tegas Sugeng Riyadi.